Assalammualaikum dan salam sejahtera saya
ucapkan untuk semua pembaca. Berdasarkan tajuk artikel diatas saya akan memaparkan sebuah penulisan mengenai
pemerintah Jawa sejak zaman kerajaan Islam Mataram dan kekejaman
salah seorang daripada mereka yang berkesinambungan hingga ke zaman moden. Mungkin
ada dikalangan masyarakat Jawa di negara ini dan seberang terutamanya akan
merasa tersinggung dengan artikel ini namun apa yang saya tulis sebenarnya bukan
bertujuan untuk menjatuhkan air muka mana-mana suku tetapi adalah
kebenaran. Malahan artikel ini adalah saduran daripada beberapa artikel yang
ditulis oleh para sejarawan dan intelek Jawa sendiri. Kita dapat lihat bahawa
apa yang berlaku di Indonesia sekarang dengan pelbagai kekacauan etnik dan
gejala salah guna kuasa yang melampau bukanlah perkara baru tetapi merupakan
suatu tradisi atau sumpahan kepada mereka. Apakah yang tidak beres?
Tulisan ini merupakan sebuah analisis terhadap paradigma suatu pemerintahan pada
masa Raja Raja Mataram yang berkuasa dari tahun 1646 hingga tahun 1742. Fokus diberikan pada Amangkurat 1. Dengan pertimbangan Raja Amangkurat ini tidaklah
terlalu jauh masanya dari zaman sekarang dan beberapa sisa catatan tidak
terlalu susah mendapatkannya, walaupun demikian kita sebagai generasi baru
perlu dengan tekun untuk menggali dan menemukan hikmah-hikmah yang ada dari
cerita ini.
Alasan mengapa Amangkurat yang kita gunakan sebagai pembandingan, mengapa…… ? Bukankah Sultan Agung atau Hayam Wuruk lebih
memiliki prestasi membanggakan didalam sejarah Indonesia, hal ini bermaksud
agar dapat dijadikan pelajaran bagi generasi bangsa Indonesia dan Nusantara
umumnya g, untuk menghindari kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh mereka.
Raja Amangkuratlah sebagai titik tolak dari kerajaan Mataram yang merupakan peradaban orang
Jawa
Dalam tulisan ini saya terus memperbincangkan tentang
pemerintah-pemerintah di zaman mataram islam dan skip dari menyentuh mengenai
kerajaan Demak .Mungkin ada antara anda yang tahu sejarah Demak, adalah tidak
cukup untuk ditulis dalam satu artikel sahaja.
Tentu panjang berjela-jela jadinya nanti sebab walaupun Demak sebuah kerajaan
islam yang diasaskan para wali namun anak cucu mereka tidak mewarisi sifat
kewalian leluhur mereka malah bergaduh sesama sendiri dan berbunuhan adik
beradik hingga menyebabkan kerajaan demak runtuh ( nama je keturunan wali tapi
perangai macam samseng).
Setelah jatuhnya kerajaan Demak dan beberapa lagi
kerajaan Islam silih berganti, akhirnya muncul sebuah kerajaan islam terkuat di
Pulau Jawa yang berjaya menyatukan beberapa buah kerajaan-kerajan kecil di
seluruh jawa yakni kerajaan Mataram. Kerajaan ini mencapai kemuncak kejayaan
ditangan seorang pemerintah yang bijak dan alim yakni Sultan Agung
Hanyakrakusuma. Dibawah pemerintahanya ulama dijadikan penasihat di istana dan agama Islam
lebih pesat diperkembangkan di seluruh Jawa hingga ke Madura. Putra dan pengganti Sultan Agung adalah
Susuhunan Amangkurat I (1646-1677 M). Pokok
pemerintahannya adalah untuk mengkonsolidasikan kerajaan Mataram, mensentralisasikan
administrasi dan keuwangan, serta menumpas semua perlawanan. Dia ingin merubah kerajaan yang
telah diasaskan Sultan Agung dengan kekuatan militeri untuk memaksa suatu mufakat menjadi suatu
kerajaan yang bersatu, yang sumber-sumber pendapatannya dimonopoli untuk kepentingan
raja sahaja. Apabila berhasil maka dia akan merombak politik Jawa.
tetapi
usaha-usahanya itu sudah ditakdirkan mengalami kegagalan, faktor geografi,
komunikasi, dan populasi yang menentukan bahwa kekuasaan administratif di Jawa tidak
dapat didesentralisasikan dengan hanya perintah raja. Sebagai akibat dari rancangannya
itu, Amangkurat I telah memencilkan orang-orang yang kuat dan daerah-daerah
yang penting, yang akhirnya menyebabkan berkobarnya suatu pemberontakan yang
terbesar. hal ini mengakibatkan tumbangnya wangsa tersebut dan masuknya campurtangan
VOC.
Amangkurat I memperlihatkan perangainya yang jahat dan kejam semenjak awal masa pemerintahannya lagi. Pada tahun 1637, ketika masih berstatus sebagai putra
mahkota, dia telah terlibat dalam suatu skandal yang melibatkan isteri seorang bangsawan istana, Tumenggung Wiraguna. Pada tahun 1647 raja baru tersebut
mengutus Wiraguna ke Ujung Timur, seolah-olah untuk mengusir pasukan-pasukan
Bali, dan di tempat yang jauh dari keluarga dan para pengikutnya itu dia
dibunuh. Sesudah itu, keluarga Wiraguna di Mataram dan orang-orang lain yang
terlibat dalam skandal tahun 1637 tersebut juga dibunuh. Saudara lelaki raja, Pangeran Alit, memihak
Wiraguna pada tahun 1637, dan ketika mengetahui sahabat-sahabatnya sedang
dibunuh, dia mencari sokongan di kalangan para ulama. mereka menyerang istana
tetapi dapat dipukul mundur, dan Pangeran Alit gugur dalam pertempuran tersebut. Kini Amangkurat I berganti melawan para ulama pula kerana berdendam dengan mereka. Sebuah senarai para pemimpin agama yang terkemuka disusun
dan mereka semuanya dikumpulkan di halaman istana. Kemudian, menurut duta VOC,
Rijklof van Goens, antara 5.000 dan 6.000 orang lelaki, wanita, dan kanak dibantai dan di bunuh dengan kejam oleh tentera mataram.
Pada tahun 1647 Amangkurat I pindah ke istananya yang
baru di Plered, tepat di sebelah timur laut Karta. Istana baru ini lebih banyak
dibangun dari batu merah daripada dari kayu seperti istana yang lama, mungkin
semacam contoh kekukohan yang ingin dipamer Amangkurat I di seluruh pelosok
kerajaannya. Pekerjaan di Plered tersebut berjalan setidak-tidaknya sampai
tahun 1666. Waktu kompleks istana baru itu bertambah besar, susuhunan baru itu
semakin kejam. Sahabat-sahabat lama ayahnya menghilang satu demi satu, beberapa
di antaranya mungkin karana usia lanjut, tetapi kebanyakan mereka dibunuh atas
perintah raja. Pada tahun 1648 van Goens menyebutkan tentang ‘cara pemerintahan
mereka yang aneh … orang-orang tua dibunuh dalam rangka memberi tempat kepada
yang masih muda! (Gezantschapsreizen, 67). Di antara orang-orang paling
terkemuka yang menjadi korban raja ini adalah ayah mertuanya sendiri Pangeran
Pekik dari Surabaya, yang dibunuh bersama-sama dengan sebagian besar anggota keluarganya
pada tahun 1659. Bapa saudaranya pun, yang merupakan satu-satunya saudara laki-laki Sultan
Agung yang masih hidup, Pangeran Purbaya, terancam tetapi berhasil selamat dek kerana adanya campur tangan ibunya.
Kegiatan Amangkurat I menghalang kesepakatan orang-orang terkemuka yang sangat
penting bagi kedudukan raja Jawa. Dia membunuh orang-orang yang dicurigai
menentangnya, baik di istana mahupun di seluruh pelosok kerajaannya, dan tentu
saja menimbulkan kegelisahan dan ketakutan di antara orang-orang yang masih
hidup. Tampak jelas perpecahan di daerah-daerah di luar perbatasan kerajaan. Hal
ini mendorong sekutu-sekutu dan kerajaan bawahannya untuk meninggalkannya. Pada tahun 1650 dia
memerintahkan tentera Cirebon menyerang Banten, dan pada akhir 1657 tentera Mataram sendiri bergerak menyerang Banten. Kedua
serangan tersebut mengalami kegagalan, sehingga tidak hanya memperkuat perasaan
benci Banten terhadap Mataram namun kemungkinan besar juga menyebabkan Cirebon
meragukan manfaat dari kepatuhan mereka kepada Amangkurat I.
Satu-satu upayanya untuk menguasai Ujung Timur pulau jawa pada tahun 1647 mengalami kegagalan, sehingga wilayah ini tetap bebas dari pengaruh Mataram.
Pihak Bali menyerang pesisir timur, dan Mataram tidak dapat berbuat apa-apa. Di
luar Jawa hanya Palembanglah yang masih tetap menyatakan setia dengan harapan
yang sangat tipis bahwa Mataram akan bersedia membantunya melawan musuh mereka
bersama, Banten, dan kemudian dalam perang melawan VOC (1658-1659).
Jambi dengan tegas menolak kekuasaan Mataram sesudah
tahun 1663 dan memilih bekerja sama dengan VOC. Kalimantan juga sama sekali
bebas dari pengaruh Mataram sesudah sekitar tahun 1659. Selama
peperangan-peperangannya dengan VOC, Sultan Hasanuddin dari Gowa mengirim
utusan-utusan ke Mataram pada tahun 1657 dan 1658. Akan tetapi, Amangkurat I
meminta supaya Hasanuddin datang sendiri ke istananya sebagai tanda takluk,
yang jelas tidak akan dilakukan oleh Hasanuddin. Sebagai akibatnya maka sudah
jelas bahwa hubungan Gowa-Mataram menjadi dingin.
Alasan-alasan yang telah menyebabkan terjadinya
perpecahan di daerah pinggiran kerajaan ini pada dasarnya bersifat ketenteraan. Amangkurat I tidak sanggup menyelenggarakan
ekspedisi-ekspedisi seperti yang telah dijalankan oleh Sultan Agung. Hal ini adalah
akibat langsung dari pemerintahannya yang zalim. Dia tidak berani meninggalkan
istananya yang dikawal ketat dan menempatkan dirinya di tengah-tengah para
komandan yang tidak dapat dijauhkan bagi keselamatan jiwanya. Demikian pula
halnya, dia tidak berani menyerahkan kepercayaan kepada orang lain untuk memimpin pasukan utamanya. Dengan demikian, kezalimannya telah
menyebabkan hancurnya mufakat pembesar-pembesar terkemuka dan mereka telah
memencilkan kerajaan ini dan tidak memungkinkannya membentuk suatu pasukan yang
besar. Oleh kerana itulah, maka para sekutu dan taklukannya di daerah-daerah yang terpencil
mendapat kesempatan yang baik untuk melepaskan kesetiaan mereka.
Hubungan raja dengan VOC pada mulanya baik. Pada tahun 1646 dia menandatangani
suatu perjanjian persahabatan yang mengatur pertukaran tawanan, dan VOC
mengembalikan wang yang telah dirampasnya dari seorang utusan Sultan Agung yang
sedang dalam perjalanan ke Mekah pada tahun 1642. Amangkurat I nampaknya
menganggap perjanjian ini sebagai bukti tunduknya Batavia kepada kekuasaannya,
dan VOC tidak merasa perlu menyatakan penafsiran lain. Beberapa kali perutusan VOC mengunjungi istana antara tahun
1646 dan 1654, dan pos perdagangan VOC di Jepara dibuka kembali pada tahun
1651. Hubungan dagang VOC dengan daerah pesisir berkembang lagi.
Bermulanya semula perdagangan Jawa-VOC di daerah pesisir telah
mengakibatkan timbulnya suatu krisis internal baru di Jawa. Barang-barang yang
diperlukan VOC -terutama beras dan kayu- adalah
hasil-hasil daerah pesisir. Barangkali para pengusaha, pedagang, dan pembesar
di daerah pesisir utaralah yang memperoleh sebagian besar keuntungan dengan
berlangsungnya semula perdagangan ini,
sedangkan yang diperoleh raja kurang daripada yang diinginkannya. Oleh kerana
itulah, maka Amangkurat I mulai melakukan pengawasan yang semakin ketat
terhadap daerah pesisir sehingga membangkitkan kembali perasaan benci yang
mendalam antara daerah pesisir dan daerah pedalaman.
Pada tahun 1651 Amangkurat I memerintahkan diadakan
suatu peraturan untuk mempermudah penarikan cukai. Dia juga mengeluarkan keputusan bahwa tidak
seorang pun rakyatnya dapat mengadakan perjalanan ke luar Jawa, sehingga secara
langsung menjatuhkanl kepentingan para saudagar dari daerah pesisir. Susuhunan
juga mengangkat dua orang gabernur daerah pesisir, yang satu untuk mengawasi bahagian barat dan yang lain untuk bahagian timur. Pada tahun 1652 dia melarang sama sekali
eksport beras dan kayu. Dia memberitahu pihak Belanda bahawa tindakan ini bukan
suatu langkah yang ditujukan terhadap mereka tetapi terhadap Banten, dan bahawa
mereka dapat memperolehi beras dengan cara mengutus seorang duta kepadanya
untuk merundingkan jumlah dan harganya. Dengan kata lain, dia berusaha menjamin
keuntungan dari perdagangan VOC supaya terus tersalur ke dalam
perbendaharaan raja. Pihak Belanda mengeluh mengenai tindakan tersebut, tetapi Amangkurat I tetap dengan pendiriannya. Sementara itu, rakyatnya di daerah pesisir menderita kerana adanya tuntutan raja yang berupa wang tunai dari mereka dan gangguan raja terhadap
perdagangan mereka.
Pada tahun 1655 Amangkurat I memerintahkan agar
pelabuhan-pelabuhan ditutup sama sekali., bahkan para nelayan pun tidak dibenarkan berlayar. Para pembesar dikirim untuk
mengambil alih kapal-kapal yang besar dan memusnahkan semua kapal yang kecil. tindakan-tindakan
tersebut dimaksudkan untuk mempermudahkan pengumpulan cukai, tetapi di sebalik semua itu terlihat jelas adanya keinginan raja
untuk menghancurkan daerah pesisir apabila dia tidak dapat menguasainya. Pada
tahun 1657 pelabuhan-pelabuhan tersebut tiba-tiba dibuka kembali, tetapi pada
tahun 1660 dinyatakan tertutup lagi bagi semua pedagang, dan kali ini pos
perdagangan VOC di Jepara juga ditutup.
Penutupan pelabuhan
yang kedua ini konon merupakan pembalasan atas tindakan VOC menghancurkan Palembang pada tahun
1659. VOC merasa tertarik kepada Palembang yang merupakan sumber lada untuk
beberapa waktu lamanya, dan pada tahun 1642 VOC telah berhasil mencapai suatu
perjanjian yang memberinya hak monopoli. Akan tetapi pertentangan-pertentangan
terus berlanjutan, dan pada tahun 1657 kapal-kapal VOC yang berada di sana diserang. Sebagai
akibatnya, VOC menyerang dan membakar Palembang pada tahun 1659, maka berdirilah kembali pos VOC di sana.
Amangkurat I berasa tergugat kerana
dihancurkannya satu-satunya sekutunya yang tersisa di luar Jawa . Akan tetapi, nampak
jelas bahwa alasan untuk ditutupnya pelabuhan-pelabuhan tersebut lebih luas
daripada itu kerana semua saudagar, bukan hanya VOC saja, dilarang berdagang di
pelabuhan-pelabuhan. Akan tetapi, pelabuhan-pelabuhan tersebut dibuka kembali
pada tahun 1661.
Usaha-usaha Amangkurat I untuk menguasai daerah pesisir
dan keinginannya untuk memonopoli perdagangan dengan VOC tentu saja memiliki
kaitan yang sangat erat. Dia nampaknya memiliki empat sasaran utama : (1)
menjamin supaya cukai dari perdagangan daerah pesisir terus tersalur ke istana;
(2) menegakkan kembali hubungan ‘vazal’ VOC yang menurut keyakinannya telah
ditetapkan di dalam perjanjian tahun 1646; (3) menerima hadiah-hadiah VOC yang
dapat meningkatkan kemegahan dan keagungan istananya, misalnya kuda Parsi, dsb,
dan (4) menerima wang VOC untuk meringankan kekurangan dana yang teruk di
kerajaannya. Tujuan-tujuan ini dapat tercapai dengan jalan meruntuhkan ekonomi
daerah pesisir dan memaksa agar VOC mmbuat semua pembeliannya secara langsung dengan istana.
Amangkurat I terus mendesak agar VOC mengirimkan duta-duta kepadanya dengan
ancaman kalau tidak pelabuhan-pelabuhan akan ditutup kembali.
Perutusan-perutusan VOC dikirim ke Plered pada tahun 1667, 1668, dan 1669,
tetapi hanya sedikit kemajuan dicapai ke arah penyusunan kegiatan dagang yang
stabil dan bersahabat, dan perutusan yang terakhir malah tidak diperbolehkan
melanjutkan perjalanannya ke Plered. Seperti yang akan dibahas di bawah ini,
pada masa itu istana mataram sudah mendekati saat kehancurannya.
Sementara itu, VOC mendapat keuntungan di Indonesia Timur. Seperti halnya tindakan
menghancurkan Palembang pada tahun 1659 telah menggugat Amangkurat I, maka
begitu juga dengan tertakluknya Gowa. Dia sekarang mula menyadari bahwa VOC
bukan hanya merupakan sumber keuangan tetapi juga sumber malapetaka. Itulah yang semakin membulatkan tekadnya
untuk menguasai daerah pesisir. Kedua orang gabernor daerah pesisir yang diangkat pada tahun 1651 telah
digantikan oleh empat orang gabernor pada tahun 1657. Pada tahun 1669 kuasa tersebut dikurangkan dan wakil-wakil dari istana yang disebut umbul dikirim
untuk mengawasi administrasinya. Kehidupan ekonomi dan administrasi daerah
pesisir selanjutnya menjadi kacau bilau, dan mulai musnah.
Sulit untuk diketahui berapa kuat penentangan terhadap
Amangkurat I sebelum akhir tahun 1660-an. tetapi hanya beberapa orang yang
mempunyai pengaruh cukup besar untuk memimpin suatu kudeta atau pemberontakan
yang dapat menyelamatkan diri dari pembunuhan yang tidak ada henti-hentinya
itu. Akan tetapi, pada tahun 1660-an muncul seseorang yang kekuatan pasukannya cukup memadai untuk menjamin dirinya mempunyai harapan
untuk selamat dan berjaya. Orang itu adalah putra raja sendiri, putra
mahkota, yang kelak akan bergelar Susuhunan Amangkurat II (1677-1703).
Putra mahkota adalah putra Amangkurat I dengan seorang
putri Surabaya, putri Pangeran Pekik. Dia sebenarnya dibesarkan oleh keluarga
ibunya, sehingga tidaklah mengherankan kalau dia mempunyai beban mental yang
berat sebagai akibat pembunuhan yang dilakukan ayahnya terhadap keluarga ibunya
dan Pangeran Pekik pada tahun 1659. kehidupannya sewaktu remaja hanya sedikit
yang diketahui, kecuali bahwa dia mempunyai kelemahan terhadap wanita-wanita
cantik yang menimbulkan konflik dengan ayahnya yang mempunyai selera yang sama.
Pada tahun 1660 pihak Belanda mendengar desas-desus bahwa
Amangkurat I mahu membunuh putranya sendiri, dan pada tahun 1661 dia telah melakukannya. namun terbukti bahwa hal itu tidak benar, tetapi pada tahun
1663 terdengar desas-desus lain mengenai usaha raja yang gagal untuk meracun
putranya. Ada kemungkinan para penyokong putra mahkota gagal dalam usaha percubaan
kudeta pada tahun 1661, yang mengakibatkan terbunuhnya ramai penyokongnya. putra
mahkota sendiri telah berhasil menyelamatkan diri dari tindakan balas dendam
ayahnya, mungkin sebab pengawal pribadinya yang sangat kuat.
Pada tahun 1668-1670 terjadi lagi konflik antara putra
mahkota dengan ayahnya mengenai seorang wanita. Perpecahan antara ayah dan anak
sekarang telah menjadi masak ranum. Mulai tahun 1660 putra mahkota sudah berusaha menjalin
hubungan sendiri dengan VOC. Antara tahun 1667 dan 1675 dia mengirim sembilan
perutusan ke Batavia untuk meminta apa saja, dari ayam Belanda sampai kuda Parsi dan gadis-gadis Makasar. Mungkin tujuannya yang
sebenarnya adalah untuk mengusha-usha apakah dia dapat mengharapkan sokongan VOC atau tidak. Enam orang pangeran lain di
istana masing-masing juga mempunyai pengawal bersenjata dan tempat tinggal yang
dijaga, di antaranya adalah Pangeran Puger yang kelak akan menjadi Susuhunan
Pakubuwana I (1704-1719). Kini Plered telah menjadi satu kumpulan kem-kem
bersenjata.
Para pangeran
terpecah-belah oleh perasaan iri dan dengki mereka dalam suatu lingkungan
politik di mana pembunuhan merupakan harga yang harus dibayar dengan mudah
sekali, darah ditumpahkan diantara sesama saudara bagai mencurah air ke tanah. Akibat dari pemerintahan yang kucar kacir tersebut
maka terjadilah sebuah pemberontakan yang besar-besaran dinamakan pemberontakan
Tarunajaya sempena nama pemimpin pemberontak tersebut. Akhirnya Amangkurat mati
dalam pelarian rdari rakyatnya sendiri akibat dari kekejaman yang dilakukannya.
Meneliti apa yang telah saya bincangkan, kita mungkin boleh membayangkan rasa ketakutan orang- orang Jawa dimasa Pemerinahan Sunan Amangkurat I pada
abad 17. Hampir semua catatan sejarah
menceritakan kekejaman baginda sultan baik sumber dari Eropah mahupun dari Jawa
sendiri yang ditulis dalam Babad Tanah Jawi. Dimulai pada masa usia 5 sampai 15
tahun dan masa remaja yang hidup dikelilingi para tawanan belanda yang mahu tidak
mahu mereka itu harus mengabdi pada Pangeran muda ini atau lebih tepatnya
menjadi hambanya Pangeran yang tentu memberi pengaruh buruk bagi diri baginda.
Tidak
ada catatan sumbangan besar dalam pemerintahannya seperti yang dilakukan
ayahnya dulu, Sultan Agung kecuali pembunuhan- pembunuhan,dan kecurigaan yang
berlebihan pada keluarga dan orang kepercayaannya sehingga pada akhirnya Raja
ini kehilangan orang -orang pandai yang dapat mempertahankan kedudukannya dan
wilayah Pemerintahan Kerajaan Mataram atas tipu muslihat orang Eropah untuk
menguasai jalur vital perdagangan.
Selain itu ada banyak lagi kekejaman yang dilakukan, antaranya ialah peristiwa pembunuhan
Kyai Dalem. Kyai Wayah di Pajang adalah seorang dalang Wayang Gedhog yang
mempunyai anak perempuan yang amat cantik tapi sudah bersuami , Suami anak Ki
Wayah benama Kyahi Dalem. Sunan Amangkurat-I bergrohi ( kata org Kelate)
terhadap wanita tersebut? Secara
tiba-tiba Kyai Dalem meninggal terbunuh dengan keris, dan tidak diketahui siapa
pembunuhnya? Sekali lagi Amangkurat-I bekerja secara rahasia. Anak perempuan
dan isteri kyi Dalem kemudian dibawa ke kraton dan dinikahi Sunan Amangkurat-I,
walaupun telah hamil dua bulan. Wanita cantik ini kemudian terkenal sebagai
Ratu Mas Malang yang kemudian meninggal dicurigai telah diracun juga oleh Telik
Sandhi atau askar mata-mata khas ( macam special branch la) Amangkurat-I.
Namun
Sunan Amangkurat-I setelah kematian Ratu Malang menjadi tertekan jiwanya
seperti orang tidak waras. Bersama Ratu Malang telah dihukum mati sekitar 43
orang wanita dayang, pelayan, emban dari istana ratu, sebagai hukuman kononnya
kerana lalai menjaga dan melayani Ratu Malang. Sebagaimana catatan. tambahan
lagi Peristiwa gudang senjata Mataram meledak meninmbulkan malapetaka dan
kematian yang lebih banyak. Yang dituduh bertanggung jawab atas meledaknya
gudang peluru tersebut adalah Raden Wira Menggala atau Riya menggala dan Raden
Tanureksa. Bersama kerabat mereka sejumlah 27 orang dihukum mati dengan ditusuk
keris Telik Sandhi amangkurat-I. Lebih menyedihkan lagi, Raden Wira Menggala
yang diperintah membunuh adalah datuknya sendiri, yaitu Pangeran Purbaya. Peristiwa
ini terjadi pada pertengahan tahun 1670. Beberapa babad telah menuliskan
peristiwa itu, yaitu Babad Tanah Jawi, Babad Momana, dan catatan Belanda .
Perbandingan Dengan Keadaan Pimpinan Indonesia Zaman Moden
Sukarno Dan Order Lama
Memiliki watak yang hampir
sama, melaksanakan Poligami, tanpa memiliki persepsi yang sama dengan
Rasulullah Saw, lebih sekularistik tentang agama / spiritualis, sehingga
membuatkan lemahnya sokongan rakyat di akhir pemerintahan. Selain itu pernah terbuang dari
pemerintahannya. Juga menghilangkan demokrasi yang sudah ada sebelumnya
misalnya pada awalnya menganut Demokrasi Liberal namun beralih kepada Demokrasi
Terpimpin, demikian juga Amangkurat yang awalnya Sultan Agung sudah membentuk
Majelis Purumpara, yang merupakan dewan penasihat dari berbagai wilayah yang namun
pada masa Amangkurat ditiadakan termasuk anggota Majelis yang sebenarnya adalah
orang-orang tua dan salah satunya bapa Pangeran Trunojoyo.
Perbezaan lainnya ialah
Bung Karno anti Barat, sedangkan Amangkurat I, menganggap Barat (VOC) sebagai
tempat bersandar, sebagai akibat suatu ramalan yang mengatakan kalau Belanda
itu yang akan melindungi keturunan Mataram. Strategi anti Barat dan Pro Barat
adalah hal yang sama kerana kedua pemimpin ini kurang peka akan permasalahan rakyat jelata, jadi yang
harus menanggung penderitaan dan kerugian adalah rakyat jelatanya.
Kelebihan Bung Karno
dibanding Amangkurat adalah Bung Karno lebih terkehadapan dan terbuka jika
diperbandingkan dengan Amangkurat, namun pada akhirnya munculnya gejala korupsi.
Dan adanya konspirasi barat dalam kejatuhannya seperti dalam kejadian G30S /
PKI adalah merupakan operasi CIA walaupun dibantah oleh Amerika, namun
masyarakat lain di Indonesia dan Internasional sudah tahu ia sebagai operasi
CIA.
Perbandingan Dengan
Zaman Orde Baru
Memiliki kesamaan yang
hampir sama, tidak visioner ditambah korupsi yang luar biasa hebatnya
dibandingkan dengan Amangkurat, maka Orde Baru jauh lebih signifikan, sehingga
negara ini kehilangan kekayaan sebab kekayaan itu telah berpindah tangan kepada
individu tertentu. Selain dari pada itu kedua kerajaan ini awalnya berjaya
namun saat akhir kekuasaan mereka tidak menyenangkan, hanya bezanya Orde Baru
memiliki beberapa kelebihan untuk memajukan rakyatnya, walaupun kedua kerajaan
dan upaya pemerintahan dicurahkan untuk mengamankan kekacauan yang berpunca
dari perbuatan mereka sendiri.
Demikian juga terhadap
hubungan dengan barat maka dapat dikatakan kalau Orde Baru dan Amangkurat
sangatlah erat dengan pengaruh barat, hal ini dapat dilihat pada perlombongan Emas di Freeport Timika.
Kita melihat bahwa bangsa Indonesia dipaksa untuk memberi konsesi kepada perusahaan Amerika dengan
ancaman separatis Papua. Bila diperbandingkan dengan saat Amangkurat II
kehilangan Priangan dan Cirebon, saat VOC membantu melawan Trunojoyo dan
Pangeran Puger.
Daripada tulisan ini maka dengan jelas kita
dapat lihat adanya kesinambungan tradisi korupsi dan kekejaman dalam
pemerintahan pemimpin-pemimpin Indonesia bermula dengan Amangkurat hinggalah
sekarang. Adakah fenomena ini suatu kebetulan atau adakah ianya suatu jinx atau
sumpahan terhadap bangsa Indonesia dan suku jawa. Kita semua sedia maklum
bahawa orang Melayu sering dikaitkan dengan kemalasan. Adakan dengan analisis
yang dibuat ini kita dapat labelkan orang jawa sebagai rajin tetapi pendengki,
kejam dan korup? Apa-apa pun sebenarnya tuduhan ini adalah tidak melampau
kerana kita dapat membaca mengenainya di dalam babad-babad kuno mengenai orang
jawa dan perwatakan mereka. Namun demikian bukan semua orang jawa bersifat
sebegitu. Ada diantara mereka yang benar-benar baik sopan dan rajin serta
mempunyai budi pekerti mulia. Mungkin kerana factor demografi dan geo-politik
mereka di Pulau jawa menyebabkan mereka berperangai begitu kerana kebanyakan
orang Jawa yang telah lama bermastautin di luar jawa semuanya baik-baik belaka
( macam Srikandi..:). Dengan penulisan artikel ini diharap para pembaca blog
ini yang meminta saya untuk menulis mengenai suku jawa berpuas hati. Walaupun artikel
ini ada berbaur negative sedikit namun ianya adalah semata-mata untuk pelajaran
dan tiadanya unsur tokok tambah dalam penulisan ini selain daripada yang benar
belaka berdasarkan sejarah yang telah tertulis. Sekian wallah hua’lam.